Kau tahu, kau tak akan pernah tahu sampai sejauh mana seseorang dapat terjatuh. Rasanya baru kemarin aku menerima kenyataan bahwa ayahku tidak sanggup membayar semua hutang yang selama ini dirahasiakannya dari aku dan Ibu. Orang-orang berbadan kekar itu kini telah menyita semuanya. Sekarang rumah, mobil, semuanya tak ada lagi. Simpanan uang di bank pun telah terkuras. Aku tak dapat lagi bersekolah. Tak ada biaya untuk apa pun juga.
Sedihku tak tertahankan, ketika tahu Ayah berhutang demi keborosanku dan Ibu. Perhiasan dan gaun-gaun Ibu, laptop dan uang saku tuntutanku per minggu untuk kesenanganku. Ayah menderita, aku dan Ibu dahulu bahagia.
Tak ada gengsi yang sekarang dapat kupertahankan. Harga diriku serasa jatuh dan terinjak-injak orang ketika kami mencari sebuah celah untuk tempat berteduh di antara rumah-rumah kumuh para gelandangan itu. Sekarang aku bahkan harus mengemis kepada orang-orang angkuh di mobil-mobil itu yang sebagaimana diriku dulu. Ayah memunguti kardus, koran, dan gelas plastik yang dalam sehari hanya dapat dihargai tidak lebih dari lima belas ribu rupiah.
Pedihku menyadari tak ada kemampuan dalam diriku. Seandainya ketika aku mampu, aku serius menjalani hari-hari sekolahku. Seandainya ketika aku mampu, aku memperdalam apa yang aku bisa. Seandainya aku dahulu begitu, aku pasti dapat melakukan hal yang lebih baik daripada mengemis kepada orang lain.
Ibu masih saja bertengkar dengan Ayah. Tak percaya dialah salah satu penyebab semua kesulitan ini, menyangka Ayah mempunyai hubungan gelap dengan wanita lain, tempat ke mana semua itu habis tak tersisa. Tetapi tak ada tempat lagi bagi Ibu untuk berlari pergi. Tak ada daya dirinya bertahan sendiri. Ia hanya berdiam diri, menangis kesal hampir gila di rumah kardus baru kami.
Kau tak akan dapat membayangkan sebelum engkau merasakannya sendiri. Seperti aku, mengemis uang kepada orang yang tidak aku kenal. Menebalkan muka, seolah tak tahu malu. Dengan tubuh lengkap tak bercacat, meminta-minta seolah tak ada hal lain yang dapat kulakukan. Ya, memang tidak ada. Sekarang aku tahu, tak ada gunanya fisik yang bagus tanpa otak dan hati yang bagus pula. Itulah diriku.
Lirikan mata sinis dan tangan-tangan yang menolak memberi membuat hatiku miris.
Sekarang aku tahu, betapa dungunya aku dahulu. Aku ini, salah seorang manusia yang begitu. Dan aku telah terjatuh, dan benturan ini begitu keras hingga membuka mata dalam diriku yang semula seperti buta dan begitu bodoh.